Rabu, 27 Juli 2011

sejarah flores

Cabo da Flores

Nama Pulau Flores berasal dari Bahasa Portugis “Cabo de Flores” yang berarti “Tanjung Bunga”. Nama ini semula diberikan oleh S. M. Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari Pulau Flores. Nama ini kemudian dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubenur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores yang sudah hidup hampir empat abad ini sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan Flora yang dikandung oleh pulau ini. Karena itu, lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) mengungkapkan bahwa nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa (yang artinya Pulau Ular).
Dari berbagai tradisi lisan, dapat diketahui bahwa yang disebut suku asli Flores Timur adalah kelompok suku Ile Jadi (yakni suku yang leluhurnya —Wato Wele Oa Dona dan Lia Nurat Nuru Nama— dilahirkan dari dalam gunung Ile Mandiri). Sedangkan suku-suku pendatang/imigran adalah suku Tena Mau (yang datang ke Flores Timur karena perahu (tena) mereka terdampar (mau); kelompok Sina Jawa (adalah kelompok pendatang yang berasal dari berbagai wilayah di Nusantara bagian Barat); kelompok Kroko Puken ( kelompok imigran dari Pulau Lepan Batang, pulau yang dipercaya telah tenggelam ke dasar laut). Pengaruh-pengaruh luar yang masih dapat diketahui adalah pengaruh Jawa (diduga berasal dad masa Hindu abad ke-13); Bugis Mákassar (diduga bermula dari abad ke-16, terbukti sampai sekarang masih terdapat naskah lontar bertulisan Bugis di Pulau Solor), Ambon/Maluku (terutama dalam zaman pemerintahan Belanda pada awal abad ke-17), Portugis (yang tiba di Solor tahun 1556, disertai migrasi besar-besaran penduduk Melayu Kristen ketika Portugis ditaklukkan Belanda tahun 1641 di Malaka).
Menurut berbagai cerita rakyat, pendiri Kerajaan Larantuka adalah seorang tokoh ‘pendatang’ dari Sina Jawa bernama Pati Golo Arakiang (seringkali tokoh ini dihubung-hubungkan dengan mitos tentang Majapahit. Misalnya: Nama ‘Pati’ dan ‘Arakiang’ disejajarkan dengan gelar ‘Patih’ dan Rakryan’ dari kerajaan Majapahit). Pati Golo Arakiang memperoleh kekuasaan sebagai raja Larantuka berkat perkawinannya dengan tokoh legendaris dan mitologis setempat yakni Wato Wele Oa Dona. Seperti dinyatakan di atas, Wato Wele yang bersaudara dengan Lia Nurat merupakan tokoh mitologis yang menjadi cikal bakal penduduk suku Ile Jadi. Dengan demikian, terbangun suatu hubungan kekerabatan antara Ile Jadi dengan keturunan Pati Golo Arakiang (Larantuka).
Raja Larantuka tidak memiliki pola kekuasaan ‘permanen dan rutin.’ Kekuasaannya bersifat ‘temporal dan berasal dari berbagai sumber’ serta ‘dilegimitasi melalui indentifikasi mitos dan ritus’ Dalam sistem pemerintahannya, Raja Larantuka memiliki satu wakil (deputy) yang disebut ‘Raja Kedua’. Selain itu raja dapat menunjuk 2 kapiten dari keluarga dekatnya dan 2 kapitan yang biasanya diambil dari keluarga Fernandez. Raja, Raja Kedua, Kapiten, dan Kapitan membentuk dewan pemerintahan yang disebut Kumpulan Anggota Besar.
Dalam mengambil keputusan, Kumpulan Anggota Besar masih harus mempertimbangkan saran dari Paoe Suku Lema (baca: Po Suku Lema) sebelum keputusan itu disampaikan kepada pimpinan 10 distrik kakang. Paoe Suku Lerna (dari istilah bahasa Portugis: payao artinya payung) adalah para kepala perang, tentara raja, yang disebut sebagai Koten Larantuka. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah: Waibalun, Lewerang, Lewolere, dan Lebao. Istilah Koten mengacu pada kedudukan dalam upacara pengorbanan hewan dalam rumah adat (korke).
Kekuasaan dan otoritas Raja Larantuka tidak secara langsung berasal dari relasinya dengan tanah, bukan pula karena dukungan dari tuan tanah (tana alant), melainkan lebih ditentukan oleh legitimasi magis dari leluhur pertama yang bermula dari episode-episode mitos asal usul (jadi: intensifikasi mitologis). Kekuatan magis leluhur itu dipercaya dapat diturunkan melalui batu pemujaan (nuba nara) kepada keturunannya. Di samping intensifikasi mitologis dan ritual melalui nuba nara, terdapat dua simbol ritus lainnya yang dianggap penting, yakni: rumah adat (korke) dan tempat menari (namang). Akan tetapi yang paling menentukan (no’o ikeng) di antara keempat sumber legitimasi itu, adalah intensifikasi mitologis yang bermula dari tutu maring usu-asa (kisah mitos asal usul). Dengan demikian, pembagian hierarki jabatan didasarkan atas pemikiran tentang bentuk hubungan yang harmonis antara penduduk pribumi dan imigran, dan antara jabatan duniawi dan jabatan rohani.

Nama Pulau Flores berasal dari Bahasa Portugis “Cabo de Flores” yang berarti “Tanjung Bunga”. Nama ini semula diberikan oleh S. M. Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari Pulau Flores. Nama ini kemudian dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubenur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores yang sudah hidup hampir empat abad ini sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan Flora yang dikandung oleh pulau ini. Karena itu, lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) mengungkapkan bahwa nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa (yang artinya Pulau Ular).
Dari berbagai tradisi lisan, dapat diketahui bahwa yang disebut suku asli Flores Timur adalah kelompok suku Ile Jadi (yakni suku yang leluhurnya —Wato Wele Oa Dona dan Lia Nurat Nuru Nama— dilahirkan dari dalam gunung Ile Mandiri). Sedangkan suku-suku pendatang/imigran adalah suku Tena Mau (yang datang ke Flores Timur karena perahu (tena) mereka terdampar (mau); kelompok Sina Jawa (adalah kelompok pendatang yang berasal dari berbagai wilayah di Nusantara bagian Barat); kelompok Kroko Puken ( kelompok imigran dari Pulau Lepan Batang, pulau yang dipercaya telah tenggelam ke dasar laut). Pengaruh-pengaruh luar yang masih dapat diketahui adalah pengaruh Jawa (diduga berasal dad masa Hindu abad ke-13); Bugis Mákassar (diduga bermula dari abad ke-16, terbukti sampai sekarang masih terdapat naskah lontar bertulisan Bugis di Pulau Solor), Ambon/Maluku (terutama dalam zaman pemerintahan Belanda pada awal abad ke-17), Portugis (yang tiba di Solor tahun 1556, disertai migrasi besar-besaran penduduk Melayu Kristen ketika Portugis ditaklukkan Belanda tahun 1641 di Malaka).
Menurut berbagai cerita rakyat, pendiri Kerajaan Larantuka adalah seorang tokoh ‘pendatang’ dari Sina Jawa bernama Pati Golo Arakiang (seringkali tokoh ini dihubung-hubungkan dengan mitos tentang Majapahit. Misalnya: Nama ‘Pati’ dan ‘Arakiang’ disejajarkan dengan gelar ‘Patih’ dan Rakryan’ dari kerajaan Majapahit). Pati Golo Arakiang memperoleh kekuasaan sebagai raja Larantuka berkat perkawinannya dengan tokoh legendaris dan mitologis setempat yakni Wato Wele Oa Dona. Seperti dinyatakan di atas, Wato Wele yang bersaudara dengan Lia Nurat merupakan tokoh mitologis yang menjadi cikal bakal penduduk suku Ile Jadi. Dengan demikian, terbangun suatu hubungan kekerabatan antara Ile Jadi dengan keturunan Pati Golo Arakiang (Larantuka).
Raja Larantuka tidak memiliki pola kekuasaan ‘permanen dan rutin.’ Kekuasaannya bersifat ‘temporal dan berasal dari berbagai sumber’ serta ‘dilegimitasi melalui indentifikasi mitos dan ritus’ Dalam sistem pemerintahannya, Raja Larantuka memiliki satu wakil (deputy) yang disebut ‘Raja Kedua’. Selain itu raja dapat menunjuk 2 kapiten dari keluarga dekatnya dan 2 kapitan yang biasanya diambil dari keluarga Fernandez. Raja, Raja Kedua, Kapiten, dan Kapitan membentuk dewan pemerintahan yang disebut Kumpulan Anggota Besar.
Dalam mengambil keputusan, Kumpulan Anggota Besar masih harus mempertimbangkan saran dari Paoe Suku Lema (baca: Po Suku Lema) sebelum keputusan itu disampaikan kepada pimpinan 10 distrik kakang. Paoe Suku Lerna (dari istilah bahasa Portugis: payao artinya payung) adalah para kepala perang, tentara raja, yang disebut sebagai Koten Larantuka. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah: Waibalun, Lewerang, Lewolere, dan Lebao. Istilah Koten mengacu pada kedudukan dalam upacara pengorbanan hewan dalam rumah adat (korke).
Kekuasaan dan otoritas Raja Larantuka tidak secara langsung berasal dari relasinya dengan tanah, bukan pula karena dukungan dari tuan tanah (tana alant), melainkan lebih ditentukan oleh legitimasi magis dari leluhur pertama yang bermula dari episode-episode mitos asal usul (jadi: intensifikasi mitologis). Kekuatan magis leluhur itu dipercaya dapat diturunkan melalui batu pemujaan (nuba nara) kepada keturunannya. Di samping intensifikasi mitologis dan ritual melalui nuba nara, terdapat dua simbol ritus lainnya yang dianggap penting, yakni: rumah adat (korke) dan tempat menari (namang). Akan tetapi yang paling menentukan (no’o ikeng) di antara keempat sumber legitimasi itu, adalah intensifikasi mitologis yang bermula dari tutu maring usu-asa (kisah mitos asal usul). Dengan demikian, pembagian hierarki jabatan didasarkan atas pemikiran tentang bentuk hubungan yang harmonis antara penduduk pribumi dan imigran, dan antara jabatan duniawi dan jabatan rohani.


Tidak ada komentar: